1.1 Sejarah Perkembangan
Teknologi Pertanian di Indonesia
Sejarah adanya
teknologi pertanian di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah Indonesia
itu sendiri. Indonesia yang pada era perang dunia I diduduki oleh kolonial
Belanda menjadi ‘tempat’ pertanian pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam hal
pemenuhan kebutuhan mereka. Untuk melaksanakan progamnya, pemerintah Hindia
Belanda yang sebelumnya mendatangkan tenaga ahli pertanian, karena adanya
peperangan, mereka mendapatan kesulitan untuk terus mengirim tenaga ahli dari
Belanda. Untuk mengatasi masalah tersebut, kemudian mereka membangun
sekolah-sekolah pertanian dan teknik untuk mencetak tenaga ahli di bidang
pertanian. Mulai dari sinilah teknologi pertanian mulai dan dapat berkembang di
Indonesia.
Setelah
merdeka, Indonesia mandiri mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tak
terkecuali teknologi pertanian. Kebijakan iptek telah ada sejak Pelita I tahun
1970. Penyuluhan pun tetap menjadi suatu usaha perbaikan pertanian. Pada saat
itu juga telah ada lembaga yang bertugas dalam melakukan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknik seperti lembaga penelitian pemerintah non-departemen
dibawah koordinasi kemenristek. Namun pada saat itu, yang menjadi kendala dalam
pengembangan teknologi pertanian yaitu kurang terfokusnya penelitian, kurangnya
dana, dan keterbatasan tenaga ahli yang secara penuh konsentrasi pada
penelitian tersebut.
Pada tahun
60-an, teknologi guna meningkatkan produksi pertanian khususnya beras
dikenalkan dalam beberapa program seperti Demonstrasi Massal Swasembada Beras,
Intensifikasi Khusus, Supra Insus dan sebagainya. Melalui program tersebut
dikenalkan beberapa teknologi modern seperti benih unggul, pupuk buatan atau
pupuk kimia, irigasi dan lain-lain. Selain itu ditumbuhkan kesatuan petani
untuk bercocok tanam secara baik dan bergabung dalam kelompok tani untuk
mempermudah komunikasi antar petani dan pembinaannya (BPLPP, 1978; Tim Faperta
IPB, 1992).
Pertanian,
khususnya di Indonesia, mulai berkembang sekitar tahun 1975. Pertanian tersebut
terbagi ke dalam tiga generasi. Generasi I yaitu generasi pertanian yang
menghasilkan bibit. Generasi II yaitu generasi penghasil komoditas pertanian.
Generasi III yaitu generasi yang meningkatkan nilai tambah hasil pertanian atau
dengan kata lain agroindustri. Ketiga generasi tersebut tidak dapat berjalan
sendiri-sendiri karena ketiganya saling mendukung.
Revolusi Hijau
yang kemudian dilakukan Pemerintah Republik Indonesia tersebut demi tercapainya
ketahanan pangan secara tetap tidak sesuai dengan cita-cita. Indonesia hanya
mampu menjadi negara yang berswasembada pangan selama lima tahun yakni dari
1984 sampai 1989. Selain itu, kesenjangan ekonomi dan sosial juga menjadi
dampaknya. Kesenjangan terjadi di antara petani kaya dengan petani miskin,
serta penyelenggara negara tingkat pedesaan. Sistem ini dinilai hanya
menguntungkan nasib petani kaya pedesaan dan petinggi pemerintahan tingkat desa
saja sedangkan petani miskin tidak merasakan keuntungannya. Antiklimaks pun
terjadi. Kerusakan ekologi menjadi tidak terhindarkan karena pemakaian
pestisida yang terlampau sering dan banyak yang menjadikan hama kebal terhadap
pestisida sehingga hama-hama tersebut merusak produksi pertanian. Produksi
pertanian pun perlahan-lahan anjlok.
Dari kejadian
tersebut dapat dikatakan, walaupun hanya selama lima tahun dalam meningkatkan
produksi pangan (swasembada), peran teknologi sangat terlihat dan terasa.
Bagaimanapun juga Indonesia pernah menerapkan teknologi yang membawa Indonesia
pada swasembada pangan. Hanya saja sistem yang bekerja tidak didukung dengan
pemahaman yang lebih para pelaku kegiatan tani ini mengenai teknologi yang
dialihteknologikan dan diterapkan sehingga berdampak yang kurang baik bagi
ekosistem dengan beragam efek sampingnya di masa Revolusi Hijau tersebut.
Sekarang
seiring berkembangnya teknologi yang lebih mutakhir tidak menutup kemungkinan
bahwa Indonesia dapat mengulang prestasinya (swasembada pangan) dengan
mengeliminasi sebanyak mungkin dampak-dampak negatifnya. Terlebih lagi sekarang
ini pertanian tidak hanya dapat dilakukan dilahan luas untuk komoditas tertentu
seperti buah-buahan dan sayur-mayur. Teknologi green house, kultur
jaringan, nanoteknologi, dan tanam gantung dapat dijadikan alternatif.
Sedangkan untuk pangan pokok, selain meningkatkan mutu padi atau beras melalui
bibit unggul, dilakukan pula divesifikasi pangan dengan mengolah umbi-umbian
dan serealia menjadi makanan penghasil energi tubuh pengganti nasi.
Itulah
sejarah singkat bagaimana teknologi pertanian muncul di Indonesia dan berperan
bagi pertanian Indonesia. Kita perlu mengambil pelajaran dari terjadinya
Revolusi Hijau dan swasembada pangan yang dilakukan Indonesia dahulu. Teknologi
terus berkembang, pertanian terus berlangsung, pengembangan keduanya pun harus
selalu disinkronisasikan agar pertanian yang kita perjuangkan ini dapat meraih
cita-cita ketahanan pangan Indonesia serta menyejahterakan bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar